Persiapan Penelitian
Senin 28 Februari 2011, Mentari nyaris
berada di atas ubun-ubun, saat empat mobil menepi di pinggiran Jalan
Raya Soreang-Cipatik, medio Februari 2011. Siang itu, Kampung Badaraksa
yang terletak di lereng bukit, kedatangan tamu.
Rombongan itu menyusuri jalan kecil
mendaki di tengah pemukiman penduduk, hendak menuju ke atas puncak
Gunung Lalakon, yang terletak di Desa Jelegong, Kecamatan Kotawaringin,
Kabupaten Bandung.
Dari Kampung Badaraksa yang berada di
ketinggian sekitar 720 m di atas permukaan laut, mereka bergegas naik
memutari bukit dari bagian selatan ke barat.
Sambil membawa berbagai peralatan dan beberapa gulungan besar kabel, rombongan membelah hutan gunung.
Derap langkah kaki mereka seolah berkejaran dengan ritme suara jengkerik, dan tonggeret di kanan-kiri.
Tim yang terdiri dari sekelompok pemuda dan para peneliti itu, akhirnya sampai di puncak setinggi 988 meter dari permukaan laut.
Kabel direntang. Tim mulai memasang alat geolistrik yang mereka bawa. Sebanyak 56 sensor yang dipasangi altimeter
(alat pengukur ketinggian) diuntai dari puncak bukit ke bawah lereng,
masing-masing berjarak lima meter, dicatu oleh dua aki listrik.
Alat-alat itu berfungsi mendeteksi tingkat resistivitas batuan, dan bisa digunakan menganalisa struktur kepadatan batuan hingga ratusan meter ke bawah. “Tujuan kami saat itu mengetahui apakah ada bangunan tersembunyi di dalam gunung,” kata Agung Bimo Sutedjo, di Jakarta, Selasa, 15 Februari 2011.
.
Turangga Seta
Agung adalah Pendiri Yayasan Turangga Seta, organisasi yang punya hajat penelitian di gunung itu. Bak tokoh fiksi Indiana Jones,
awak Turangga Seta memang punya kegemaran memburu jejak sejarah. Bukan
atas hasrat memiliki, tapi mengungkap kegemilangan sejarah nenek moyang
di masa lalu.
Komunitas itu berdiri sekitar 2004,
digawangi oleh sekelompok profesional di berbagai bidang. Ada pengajar,
kontraktor bangunan, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan swasta,
juga mahasiswa. Beberapa di antara mereka punya kepekaan lebih terhadap
kehadiran gaib, atau istilah keren mereka: parallel existence.
“Kami ini semua anak-anak MIT. Bukan Masachussetts Institute of Technology, tapi Menyan Institute of Technology,”
kata anggota Turangga Seta Hery Trikoyo, bergurau. Sebab, dalam
melakukan perburuan terhadap situs sejarah, kadang mereka mendapat
sokongan informasi lokasi dari ‘informan tak kasatmata’.
Namun, karena dasarnya mereka adalah
anak-anak yang mengenyam pendidikan tinggi, dorongan mereka membuktikan
informasi tersebut, mengalir deras. Tak jarang para ‘arkeolog partikelir’ ini keluar malam-malam usai jam kerja, untuk menggali sebuah tempat demi membuktikan kebenaran hipotesa mereka.
.
Penelitian
Setelah mereka menemukan benda sejarah
yang mereka maksud, lalu mereka menimbunnya kembali, tanpa diketahui
oleh masyarakat umum. “Kami khawatir bila diketahui banyak orang, malah diambil atau dicuri,” kata Agung.
Kali ini, kedatangan mereka ke Gunung
Lalakon dalam rangka membuktikan teori mereka, bahwa ada sejumlah
piramid di Indonesia. Salah satu informasi awal didapatkan dari tafsiran
mereka terhadap relief Candi Penataran.
Turangga Seta percaya bahwa
kebudayaan Nusantara lebih tua daripada Kebudayaan Sumeria, Mesir, atau
Maya. Mereka haqul yakin Indonesia memiliki situs candi atau piramida
yang lebih banyak dan lebih megah dari peradaban Mesir dan Maya.
“Ada ratusan piramida di Indonesia, dan tingginya tak kalah dari piramida Giza di Mesir yang cuma 140-an meter,” kata Agung. Meski masih harus diuji secara ilmiah, pandangan Agung senada dengan teori Profesor Arysio Santos, yang menyebutkan Indonesia adalah peradaban Atlantis yang hilang.
Keyakinan ini tentu saja membuat banyak
orang mengernyitkan dahi. Turangga Seta sempat mem-post keyakinan
mereka ihwal keberadaan piramida di Indonesia di sebuah forum online.
lengkap dengan foto-fotonya. Hasilnya, mereka menuai cemoohan dan
tertawaan. “Nanti, kalau semuanya terbukti, mereka tak bisa lagi tertawa,” kata Agung berapi-api.
Agung mungkin sedang sesumbar. Tapi, bisa
juga tidak. Usai pengujian geolistrik di Gunung Lalakon, para peneliti
yang datang bersama Agung cs. terbengong-bengong. Mereka bukan sembarang
peneliti. Mereka adalah peneliti papan atas. Beberapa adalah pakar
geolog ternama, yang kredibilitasnya tak diragukan. Tapi karena datang
atas nama pribadi, kehadiran mereka di sana tak mau diungkap.
“Selama ini saya tidak pernah menemukan struktur subsurface seperti ini. Ini unnatural (tidak alamiah),” kata pakar geologi yang wajahnya sering terlihat di berbagai stasiun TV itu.
Lazimnya, sebuah lapisan tanah atau lapisan batuan akan menyebar merata secara menyamping atau horisontal. Tapi hasil uji geolistrik menyatakan terdapat semacam struktur bangunan yang memiliki bentuk seperti piramida, dan di atasnya terdapat lapisan batuan tufa dan breksi dengan pola selang-seling secara bergantian.
Pola batuan tufa dan breksi ini berulang secara melintang bukan mendatar, dengan kemiringan sama. “Seolah-olah piramida ini diuruk dan dibronjong secara sengaja, agar tak longsor,” kata Hery, yang berprofesi sebagai konsultan kontraktor bangunan.
Dalam lanjutan rekaman video berikutnya, pakar geologi tadi menunjuk sebuah bentukan berwarna biru. Dalam hasil uji geolistrik, warna biru menandakan sebuah tempat yang punya resistivitas paling rendah. “Ini mungkin semacam rongga yang bisa berisi air atau tanah lempung,” pakar geologi itu menerangkan. Bentukan tadi menyerupai semacam pintu.
Yang jelas, pakar geologi itu
melanjutkan, kemungkinan besar temuan itu adalah struktur buatan
manusia, karena proses alamiah sepertinya tak mungkin menghasilkan pola
batuan semacam itu. “Ini jelas man-made,” kata dia.
Salah satu pakar geologi yang turut dalam
penelitian ke Gunung Lalakon bersama tim Turangga Seta awalnya ia
menampik, dan mengatakan tak tahu-menahu keberadaan struktur bangunan
mirip piramida di bawah Gunung Lalakon. Tapi belakangan secara tersirat
ia mengakui hal itu.
“Saya no comment,” kata geolog kawakan Andang Bachtiar, Rabu 23 Februari 2011. Lebih jauh, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia
(IAGI) itu mengatakan hasil analisis itu masih belum bisa menyimpulkan
apa-apa. Masih banyak hal yang perlu dibuktikan, kata Andang.
Tapi Andang kemudian mengaku, selain ke
Gunung Lalakon di Bandung, juga ia mendampingi tim Turangga Seta menguji
bukit serupa di daerah Sukahurip, Pengatikan, Kabupaten Garut, Jawa
Barat.
Menurut Agung, timnya sudah melakukan pengujian geolistrik dan uji seismik
di 18 titik di beberapa tempat di Indonesia. Di Bandung dan di Garut,
mereka mendapat hasil kurang lebih sama. Semua serupa: indikasi adanya
sebuah struktur bangunan yang mirip piramida di bawah bukit.
Bedanya, di bukit-piramida di Garut tak dijumpai adanya rongga seperti pintu, seperti halnya di Bandung. “Mungkin karena kami hanya mengujinya di salah satu bagian lereng bukit saja,” kata Hery Trikoyo. Sayang, Turangga Seta masih menutup rapat hasil uji mereka di tempat lainnya.
***
Turangga Seta mengklaim masih ada
ratusan piramida lain yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu
pentolan Turangga Seta lainnya, Timmy Hartadi, dalam laman Facebook
mereka mengatakan bahwa piramida-piramida itu tersebar di Sumatera,
Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Klaim penemuan sebuah piramida
tersembunyi di dalam bukit, tak hanya terjadi di Indonesia. Klaim ini
juga sempat muncul di Bosnia. Pada 2006, seorang pengarang bernama Semir Osmanagic
mengklaim penemuan ini, dan sempat mengatakan mereka menemukan piramida
tersembunyi di bukit Visocica, kota Visoko, yang terletak di barat laut
Sarajevo.
Osmanagic mengatakan penggalian piramida
itu melibatkan arkeolog dari Australia, Austria, Irlandia, Skotlandia
dan Slovenia. Namun, beberapa arkeolog yang disebut Osmanagic menolak
klaim tersebut.
Seperti dikutip dari situs
Archaeology.org, arkeolog dari Kanada yang disebut Osmanagic, Chris
Mundigler mengaku tak pernah mendukung atau setuju bekerja di proyek
tersebut. “Skema ini adalah sebuah kebohongan keji terhadap masyarakat awam, dan tak akan pernah mendapat tempat di dunia ilmu pengetahuan,” kata pernyataan resmi dari Asosiasi Arkeolog Eropa.
Bagaimana dengan klaim piramid di Bandung dan di Garut?
Secara geomorfologis, bentuk
Gunung Lalakon di Bandung maupun Gunung Sadahurip di Garut memang
memiliki bentuk yang mirip dengan piramida. Mereka memiliki empat sisi
yang nyaris simetris.
“Bentuknya kok begitu simetris ya? Lancipnya sangat simetris,” ujar arkeolog senior Profesor Edi Sedyawati di kediamannya di Jakarta, Rabu, 23 Februari 2011.
Namun, kata Edi, klaim dan hasil uji geolistrik masih belum cukup untuk mendapatkan kesimpulan akhir.
Langkah selanjutnya adalah penggalian percobaan pengambilan sampel dengan memuat sebuah test bed untuk mengetahui apa benar ada indikasi lapisan-lapisan budaya dan ada bekas-bekas perbuatan manusia atau tidak.
“Tapi ini harus betul-betul
penggalian arkeologi yang meminta izin kantor suaka purbakala dan
melibatkan arkeolog, karena harus ada pertanggung jawaban dan laporan,
dari mili ke mili (milimeter, red),” kata Edi Sedyawati.
Turangga Seta pun tengah mengusahakan izin pengambilan sampel tanah di Gunung Lalakon kepada Pemda Jawa Barat. “Kami hanya perlu menggali tanah di lokasi, selebar sekitar 3-4 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter,” kata Agung.
***
Gunung Lalakon
Gunung Lalakon dikelilingi beberapa bukit
lain seperti bukit Paseban, Pancir, Paninjoan, Pasir Malang. Di bukit
Paseban ada tiga buah batu, yang dua di antaranya terdapat telapak kaki
manusia dewasa, dan telapak kaki anak-anak.
Menurut Edi, bila benar batu telapak itu peninggalan sejarah, kemungkinan ini berasal dari zaman megalitikum. Batu telapak juga sudah dijumpai di tempat lain, seperti prasasti Ciaruteun, peninggalan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. “Cap telapak kaki biasanya diabadikan sebagai monumen mengenang pemimpin suatu daerah,” kata Edi.
Cap kaki juga erat kaitannya dengan konsep Triwikrama
atau tiga langkah yang berkembang di masa itu. Saat itu, mereka percaya
bila seseorang hendak naik ke dunia dewa-dewa, mereka harus menjejak
dengan keras agar dapat melompat tinggi sekali.
Sementara itu, di Gunung Lalakon juga
terdapat beberapa situs batuan, seperti Batu Lawang, Batu Pabiasan, Batu
Warung, Batu Pupuk, Batu Renges, Batu gajah, dan sebuah batu panjang
yang terletak di atas puncak.
Menurut Abah Acu, tokoh masyarakat
Kampung Badaraksa, secara filosofis, Gunung Lalakon adalah perlambang
sebuah lakon dari kehidupan manusia. Batu-batu tadi merepresentasikan
berbagai lakon atau profesi yang dipilih oleh manusia.
Namun, keberadaan batu-batu tadi kerap
disalahgunakan. Banyak orang datang ke tempat batu di Gunung Lalakon
mencari pesugihan. Bahkan, menurut Jujun, tokoh agama Islam di tempat
itu, dulu banyak orang datang ke Batu Gajah mencari ilham judi buntut. “Banyak pula yang berhasil menang,” kata Jujun.
Jujun menerangkan, di Gunung Lalakon
secara rutin juga digelar acara ritual tolak bala, yakni dengan membuat
nasi tumpeng kemudian dibagikan dan dimakan oleh penduduk. “Acara ini diadakan setiap tahun, biasanya setiap tanggal 1 Syuro.”
.
Gunung Sadahurip
Berbeda dengan tradisi di Gunung Lalakon, masyarakat di sekitar Gunung Sadahurip relatif lebih ‘modern’.
Menurut Nanang, warga Kampung Cicapar Pasir, kampung terdekat Gunung
Sadahurip, di sana tak ada tradisi tolak bala. Masyarakat sekitar juga
tak terlalu peduli dengan mitos gunung itu di masa lalu.
Pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, mengatakan di Tatar Sunda
yang meliputi Jawa Barat, Banten, DKI, dan sebagian Provinsi Jawa
Tengah, terutama dataran tinggi seperti Banten Selatan, Cianjur,
Sukabumi, Bandung, Garut, Kuningan, dan Bogor, banyak ditemukan
peninggalan budaya megalitikum.
Tinggalan-tinggalan itu di antaranya berupa batu menhir, bangunan berundak, batu lumpang, peti kubur batu, batu dakon, dan arca megalitik. (baca: Ini Dia!! Megalith “Gunung Padang” Jabar, “Stone Henge” Versi Indonesia)
Namun, Nina menjelaskan, sejarah di Tatar Sunda tak mengenal bangunan piramida karena tak ada kebiasaan di Tatar Sunda membuat bangunan piramida dengan ketinggian hampir ratusan meter sebagai tempat suci. “Tempat suci di Tatar Sunda ini seringkali disebut multi-component sites atau situs berkelanjutan,” kata Nina melalui surat elektronik.
Bila pada masa prasejarah tempat suci itu dikenal sebagai punden berundak-undak, tempat pemujaan leluhur, maka ketika budaya Hindu Budha, yang hidup pada masa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda (669-1579 M), tempat suci itu terus dipergunakan.
Hanya saja menhir dijadikan sebagai lingga, lalu bangunan berundak itupun diwujudkan dengan gunung yang di atasnya dibangun lingga. Saat Kerajaan Sunda runtuh, maka lingga pun diganti dengan nisan bagi makam tokoh yang dianggap keramat.
Saat diberitahu di bukit-piramida Bandung maupun Garut ada makam yang dikeramatkan, serta adanya keluarga keturunan Syekh Abdul Muhyi, penyebar agama Islam di kawasan Priangan Timur, yang hidup dua abad setelah Kerajaan Sunda runtuh, Nina berusaha membuat konklusi dan analisa.
“Saya menduga bahwa bukit berbentuk
piramida ini, adalah mandala (daerah pertapaan berupa dusun mandiri yang
terletak di tempat terpencil), yang sudah tercampur dengan budaya yang
datang kemudian (yaitu Hindu-Budha-Islam),” ujar Nina.
Namun untuk mengungkap apa sesungguhnya
yang tersembunyi di balik bukit berbentuk piramid itu, kata Nina, para
geolog harus bekerjasama dengan para arkeolog untuk melakukan ekskavasi (penyingkapan).
***
Sampai ke Istana Presiden
Cerita soal penemuan bukit berstruktur piramida ini rupanya telah sampai pula ke Istana Presiden.
Seorang pejabat di lingkaran presiden, mengaku telah dilaporkan ihwal
riset itu. Untuk keterangan soal ini, dia minta tak disebutkan namanya,
menimbang riset yang belum rampung.
“Ya, saya sudah lihat analisis
geolistrik dan georadar-nya. Saya menyaksikannya dalam bentuk tiga
dimensi. Menakjubkan, dan masih misterius. Tim riset itu dipimpin oleh
para geolog terpercaya,” ujar si pejabat itu lagi, Rabu pekan lalu.
Tapi, pejabat itu tak mau menjelaskan detil penemuan. Sang geolog, ujarnya, belum mau diungkapkan ke publik. “Masih didalami oleh tim riset mereka, tetapi dari hasil yang ada, memang mencengangkan,” ujarnya.
Dia melukiskan, dari hasil geolisitrik tampak struktur
berbentuk piramida di dalam bukit itu. Ada undak-undakan, mirip tangga
menuju puncak piramida. Di bagian dasar, ada semacam pintu, dan tampak
juga sesuatu yang mirip lorong di dalamnya.Dia pun menambahkan, para ahli itu percaya ada semacam struktur geologis tak biasa di dalam gunung menyerupai piramida itu. Para ahli geologi itu, kata si pejabat istana, mempertaruhkan kredibilitas keilmuan mereka. “Kita tunggu saja. Kalau riset dan pembuktian ilmiah sudah lengkap, pasti akan dibuka ke masyarakat”.
*
Pihak Asing Berniat Ungkap Misteri Piramida Garut
“Piramida di Sadagurip diduga lebih tua dan lebih besar dari Piramida Giza di Mesir.”
Selasa 29 November 2011, Riset patahan
aktif di Jawa Barat untuk mempelajari bencana di zaman purba berujung
pada penemuan mengejutkan: keganjilan berupa struktur piramida di Gunung
Sadahurip, Garut, Jawa Barat.
Diperkirakan besar dan usianya melampaui
Piramida Giza di Mesir – yang diyakini sebagai makam Firaun, Dinasti
keempat Mesir, Khufu, yang dibangun selama lebih dari 20 tahun pada
kurun waktu sekitar tahun 2560 sebelum Masehi.
Kini, misteri piramida di Garut, Jawa
Barat diharapkan akan segera terkuak. Anggota Tim Bencana Katastropik
Purba yang dibentuk Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial
dan Bencana, Iwan Sumule mengatakan, sejumlah peneliti dan arkeolog
asing telah menawarkan bantuan dalam proses eskavasi.
“Termasuk dari Prancis, Amerika Serikat,
dan Belanda menyatakan minat untuk membantu eskavasi,” kata dia saat
dihubungi pada Selasa 29 November 2011.
Dia menambahkan, berdasarkan hasil
survei, didukung sejumlah data, termasuk hasil foto IFSAR – lima meter
di atas permukaan tanah, nyata ditemukan adanya struktur piramida yang
adalah buatan manusia.
“Semua aspek sudah diteliti, termasuk carbon dating.
Di Gunung Sadahurip itu menunjukkan umur batuan 10.000 tahun lebih.
Artinya kalau Piramida Giza di Mesir berusia sekitar 3.000 tahun sebelum
masehi, kita (Garut) 10.000 tahun,” tambah dia. “Hasil tes karbon tak
bisa ditipu.”
Besarnya pun melampaui piramida di Mesir.
Menurut Iwan, tinggi piramida Garut diperkirakan 200 meter. “Makanya
kami perkirakan, lebih tinggi dan lebih tua tiga kali lipat dari
Piramida Giza di Mesir.”
Peradaban mana yang sedemikian maju dan bisa membangun piramida sebesar itu?
“Kami eskavasi dulu, baru bisa mengetahui lebih lanjut”.
“Ini akan menguak, peradaban masa lalu yang mengagumkan bisa berasal dari bumi nusantara,” tambah Iwan.
Ditanya soal agenda eskavasi, Iwan
menjelaskan, pihaknya kini sedang berkoordinasi dengan semua pihak
terkait. “Ketika semua sudah siap, baru akan melakukan eskavasi. Ini
tidak gampang, tidak seperti cangkul-mencangkul tanah. Ini sangat
berharga, berumur ribuan tahun,” kata dia.
Semua aspek, dia menambahkan, perlu
dibicarakan dengan semua instansi terkait — memberikan pemahaman, bahwa
di tempat tersebut ditemukan piramida. “Untuk tahap awal melalui kepala
desa, mereka menerima, mudah-mudahan saat eskavasi jalan, sudah terbuka
semua,” kata dia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah diberi
tahu soal temuan ini.
Keberadaan piramida tersebut, Iwan
menambahkan, dapat memberikan efek positif bagi masyarakat Garut dan
sekitarnya, khususnya aspek ekonomi dan sosial. “Kami gembira tim
peneliti mancanegara berniat langsung datang,” kata Iwan. “Ini akan
membalikkan semua pandangan orang terhadap dunia prasejarah.”
Sebelumnya, Tim Katastropik Purba juga
mengatakan, bangunan diduga piramida bukan hanya di dalam Gunung
Sadahurip. Juga ditemukan di tiga gunung lain di Garut. “Hasil survei di
Gunung Putri, Gunung Kaledong dan Gunung Haruman sudah bisa diambil
kesimpulan bahwa ada “man made” yang diduga kuat piramida,” ujar Tim.
Penelitian juga dilakukan di Gunung
Padang, Cianjur, di mana batu-batu megalitikum tersebar luas di kawasan
sehektare lebih. Melalui tes geolistrik, Tim menyimpulkan di situs
Gunung Padang yang juga disebut sebagai peninggalan megalitikum terbesar
di Asia Tenggara itu terdapat struktur punden berundak yang mirip
piramida. (baca: Ini Dia!! Megalith “Gunung Padang” Jabar, “Stone Henge” Versi Indonesia)
Pada 5 November, Tim yang sama juga
melansir, Gunung Klothok dan sebuah gunung di Sleman, juga diduga
menyimpan struktur piramida di dalamnya. (baca: Kini Giliran Jawa Timur, Ditemukan Bangunan Mirip Piramida!) (umi/vivanews/icc.wp.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar